Beckham on luggage conveyor at Beijing Internasional Airport |
Beberapa waktu lalu, film
Assalamualaikum Beijing tayang di bioskop. Dari judulnya, sudah ketahuan kalau
film ini bertema Islami. Sekilas melihat posternya, gak ada keinginan sedikit
pun untuk menontonnya. Hanya saja ketika gue nonton film lainnya, sempet nanya
sama soul mate, kok film Assalamualaikum Beijing gak ada ekstra-nya ya? Dijawab
filmnya kan udah tayang, biasa ekstra kan untuk film yang coming soon. Bener
juga.
Salah satu sudut bandara |
Baru nonton sebentar, gue mulai
tergelitik. Haduh, akting para pemerannya standar banget. Pemandangan Beijing
dengan city icon-nya seperti Great Wall dan Temple of Heaven-nya sih keren.
Terus ceritanya sudah ketebak di awal. Bener banget, akhirnya si
pemeran laki-lakinya menjadi mualaf.
Males nonton kelanjutannya.
Matiin TV dan langsung tidur.
Tiba-tiba teringat film Ayat-ayat
Cinta yang juga gue tonton di TV. Kesamaan kedua film tersebut ada di bagian
mualaf-nya. Mengganggu sih enggak, cuman jadi mikir apa memang bener, orang
segampang itu pindah agama? Mungkin ini kan film yang nota bene berdurasi
terbatas, dalam waktu maksimal 2 jam semua cerita, permasalahan, konflik dan
solusi harus sudah terpecahkan bukan?
My footprint @ Tian An Men Square |
Coba tengok film ? ( Tanda Tanya ) yang kental dengan nuansa pluralisme besutan Hanung Bramantyo. Asalnya gue gak berminat nonton. Hanya gara-gara temen gue nonton, yang awalnya dia juga enggan untuk menonton dan mempunyai pemikiran yang sama seperti gue tapi jadi nonton karena salah satu Pendeta di gereja-nya merekomendasikan film tersebut dan temen gue pun merekomendasikan balik. Ketika filmnya sudah menghilang dari bioskop dan sempet rame di media masa, gue baru heboh cari dvd-nya.
Setelah nonton baru ngerti, pantesan tuh film didemo. Itu pun masih ada unsur mualaf-nya loh tapi secara pribadi, gue masih bisa nerima karena ceritanya bagus dan gak berat sebelah, walau dalam keseharian belum tentu jadinya seperti itu.
Bagaimana dengan La Tahzan?
Dalam kehidupan nyata, temen
kantor gue ada kok yang asalnya beragama Buddha tapi karena pacarnya Islam, akhirnya
mereka berakhir di penghulu, temen gue yang keturunan itu serta merta jadi
mualaf.
Dunia selebritis pun sama. Ada
Bella Saphira, Sandy Tumiwa, Angelina Sondakh dan Marcell. Itu yang gue tahu.
So, ada yang salah dengan mereka
yang menjadi mualaf? No, itu hak mereka. Gue gak akan komen apa pun tentang
itu. Semua orang bebas beragama bukan?
Terus? Ada masalah? Enggak juga
tuh. Penasaran doang kenapa tema mualaf kok sering muncul ya? Jaminan laris
kah? Bahkan di satu forum ada yang berkomentar “Itu bukan keberhasilan tapi
promosi pepesan kosong.” Nah loh?
Baru kemarin, gak sengaja setel
TV eh, lagi siarin film 99 Cahaya di Langit Eropa 2. Ok, gue coba nonton dari
pertengahan film sampai habis. Cerita mualaf sih gak ada, cuman di ending
diceritakan kalau si pemeran wanitanya memutuskan untuk berhijab.
Ada adegan yang mengganggu sih
waktu si pemeran wanitanya ada di satu masjid dan dia dilarang sholat. Dengan
nada sinis dia mencoba menanyakannya pada salah satu petugas yang dijawab kalau
dulunya adalah katedral lalu jadi masjid dan sekarang jadi museum. Baru deh dia
ngerti.
Mengganggu di sini, memangnya gak
bisa survey dulu gitu sebelum berkunjung dan sebelum nanya? Ya, mungkin juga
memang seperti itu kejadiannya karena katanya based on catatan perjalanan si pengarang.
Well, gue gak bilang kalau semua
film bertema Islami harus lulus sensor dari gue loh. Suka-suka yang bikin film
saja atau terserah si pengarang novel menentukan arah ceritanya mau seperti
apa. Buat yang gak suka, simple-nya gak usah nonton, keluar dari gedung bioskop
atau tekan tombol power off kalau memang tayang di TV.
Oh, mungkin memang trend pasar
kali. Inget dong film Jelangkung, pocong-pocongan dan hantu-hantu lainnya yang sampai
sekarang masih suka nongol di bioskop. Era sekarang mungkin lagi seneng film
religi bertema mualaf atau religi berbalut traveling setelah sebelumnya cinta
beda agama. Cuman kok lumayan sering ya? Bahkan soul mate gue dengan yakin
bilang kalau semua film religi yang tayang di bioskop pasti ceritanya mualaf. Sok
tahu dia.
Gue gak ( mau ) tahu apakah
cerita tersebut dari kejadian nyata apa cuman fiksi belaka. Siapa pun sah-sah
saja mau menceritakan apa pun dengan cara pandang masing-masing orang dan gue
gak akan mengganggu gugat. Itu haknya mereka toh?
Hanya saja otak gue gak bisa
diajak kompromi, apa mualaf memang lagi booming? Apa tema tersebut memang (
lagi ) favorit di kalangan umat Islam? Kehabisan ide cerita kah? Atau kalau gak
ada tema itu ada sesuatu yang kurang? Apa biar di bioskop bisa rame-rame teriak
kemenangan? Atau pada kenyataannya memang ini yang menjadi fenomena di negara kita?
Atau mungkin gak sih, ini hanya
tindakan insecure pihak-pihak tertentu yang takut atau kecewa karena pada
kenyataannya jauh dari realita? Apa kabarnya Nafa Urbach, Rianti Cartwright, Pinkan
Mambo, Asmirandah dan yang terakhir Lukman Sardi?
Well, pastinya gue gak ngurusin
orang-orang yang pindah agama. Itu berpulang pada masing-masing individu. Gue pribadi
cenderung mikir ketika seseorang berpindah keyakinan dari satu agama ke agama
lainnya. Dan pada akhirnya bukan hak gue untuk menghakimi mereka, siapa pun
itu. Agama mu agama mu dan agama ku agama ku.
Semisal gue sutradara pun gak
akan bikin film tandingan sejenis, bukan karena takut didemo ormas tertentu
tapi lebih tertarik bikin film cerdas yang gak melulu mainstream tapi
memorable.
Bagaimana dengan para pemerannya
yang dibayar untuk memerankan apa yang bukan keyakinannya? Well, apakah mereka
murtad atau memang dapat hidayah? Kalau terjadi sama gue, gue sih gak mau. Aktor memang harus memerankan semua peran tapi gue gak mau jadi batu sandungan.
At the end, gue pastikan
kalau kemarin pengen banget nonton Assalamualaikum Beijing bukan karena dapet hidayah, cuman kangen perjalanan 2 tahun kemarin ketika untuk
pertama kalinya menginjakan kaki di Beijing. Next time, mendingan gak pake tur
biar bisa lebih puas menyusuri hal-hal yang gak terlalu turis dan pulang membawa
pengalaman nan berkesan.
By the way, Shalom Beijing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar