Traveler from Brazil at U Bein Bridge |
Pemilihan Myanmar sebagai
destinasi traveling kali ini bukan tanpa alasan. Magnetnya tentu saja Old Bagan
dengan hamparan ribuan candinya. Yah, walaupun tanpa balon udara sebagai
pemanis karena belum musimnya tidak menyurutkan keinginan gue untuk menyambanginya. Tiga tahun lamanya gue menunggu kesempatan ini datang.
Negara ke-7 ini sukses menempel
dengan manisnya di lembaran passport Indonesia gue edisi baru. Sebagai pemegang
passport Indonesia, Negara Myanmar membebaskan biaya visa untuk izin tinggal selama
14 hari ( masuk via airport ).
Monks at Mandalay Royal Palace |
Traveling kali ini tuh cukup
menguras energi karena itin belum fix dan kerjaan lagi numpuk. Lampu ijonya,
cuti gue di acc, jadi udah tenang tinggal go show sambil persiapan
printilan-printilannya.
Monks at U Bein Bridge |
Myanmar kayaknya gak punya
epidemi apapun yang mengharuskan harus suntik malaria dan lain sebagainya. Yang
penting badan sehat, siap untuk overland dan gak cacingan. Hah?
Asuransi perjalanan gue beli
untuk cover Negara Asean. Gak ada salahnya lah daripada pas butuh malah gak punya.
Monks at Mahamuni Pagoda |
Bule temen join tour, sempet
nanya kok gue solo traveling? Jawab gue, semakin banyak orang yang ikut akan
semakin banyak keinginan yang belum tentu sependapat dengan isi otak gue.
Lagian gue cukup egois, gak terlalu suka berbagi dan rada susah toleransi.
Ketika dijalani sendiri, gue merasa free, gak terikat dan ini gue banget.
Local people at U Bein Bridge |
Semakin gak ada yang nyariin
semakin bagus, karena traveling itu sweet escape, keluar dari rutinitas untuk
melihat dunia luar yang penuh keajaiban.
Bukan berarti solo traveling gak
punya kekurangan. Buat gue yang moody, jaga mood tetap stabil menjadi salah satu kesulitan
tersendiri. Ketemu temen seperjalanan yang menyenangkan itu bonus.
Monks at U Bein Bridge |
Sewaktu join tour di Hpa An, gue
dengan 4 bule lainnya mengunjungi Lumbini Garden. Driver bilang waktunya 45
menit, ya udah gue langsung masuk diantara hamparan patung-patung Buddha untuk
selfie. Bule-bule lainnya juga pada turun dari tuk-tuk dan foto-foto di dekat
jalan. Lumbini Garden itu isinya cuman patung-patung Buddha dengan latar Gunung
Zwegabin. Gue pikir, kan 45 menit tuh lama, ya udah santai dong. Pas, gue balik ke
parkiran tuk-tuk, gak ada siapa-siapa. Di gerbang masuk juga gak ada. Apa mereka udah jalan
lagi ke tempat yang lain? Lumayan panik dan sebel juga. Kan kalau mereka mau
jalan, bisa teriak kan?
Akhirnya gue jalan terus menuju
ke dalam sekitar 2 kilo dan tuk-tuk beserta bule-bulenya lagi parkir sambil
makan es krim. Sial gak tuh? Di situ gak ada apa-apa juga. Apa gue yang salah
karena terlalu asik sendiri? Pokoknya kesel banget, gue gak bisa diginiin...
Kiddos at Sadan Cave |
Kota yang asik tentunya
Mandalay, gak terlalu hectic dan kalem tapi kalau untuk hidup, gue akan pilih
Yangon karena masih ada mal gede, banyak gereja dan lebih hip. Hahaha...
Entah kenapa paling sering dikira orang Jepang atau Korea dan orang lokal lebih suka ketemu bule dan foto bareng mereka dibanding gue. Gak masalah, gue bukan selebritis juga.
Newlyweds at Kutodaw Pagoda |
Keseharian mereka tuh nyantai banget, ngunyah sirih, pake kemeja, handphone nyelip di longji dan sendal jepit. Mau ibadah, mau ke mal, ya gitu aja outfitnya. Sederhana sekali, Hidup seperti itu kayaknya indah dan jauh dari hedon. Apa mungkin dikehidupan gue yang sekarang bisa hidup sesantun itu?
Secara keseluruhan, gue sangat menikmati setiap detiknya solo traveling ke Myanmar. Walaupun harus ketemu orang menjijikan di Inle Lake, miskom dengan driver di Mandalay yang jadi bikin gak mood, dan balas marah-marah di pagi buta waktu baru nyampe Bagan dengan calo di terminal bis.
Apapun itu, menjadi bumbu yang memperkaya rasa. Untuk menjadi mie goreng yang maknyus, harus ada kecap manisnya, sedikit merica, sedikit garam, penyedap rasa, bawang putih dan merah beserta bumbu lainnya yang dibutuhkan.
Hanya saja, kalau mau bidang pariwisatanya lebih maju lagi, banyak yang harus dirubah. Seperti calo-calo yang suka mark up harga, tukang tipu yang bilang iya di awal tapi kenyataannya beda, belum lagi tukang jual cinderamata yang suka maksa. Bahkan kalimat pertanyaan yang selalu ditanyakan, "Where do you come from?" itu lumayan mengintimidasi. Hayati lelah bo dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Thailand yang udah maju pariwisatanya aja masih banyak scam bertebaran. Indonesia juga sama. Siapa yang gak ilfil, kalo ke Kawah Tangkuban Parahu di Bandung, driver angkot bisa patok harga suka-suka? Dimana-mana sama, gimana kita pinter menyikapinya aja dan jangan malas untuk browsing untuk sekedar cek harga pasaran, biar gak ketipu banget-banget. Namun, sepintar apapun kita, kalau gak ada pilihan lain, yang dirugikan tentu saja kita sebagai traveler. Dipikir-pikir, apakah Thailand kekurangan wisatawan asing walau banyak scam dimana-mana?
Traveling itu gak usah terlalu kebanyakan mikir, dibawa enjoy aja. Sisanya, bawa pengalaman-pengalaman itu untuk disimpan diantara sel-sel otak yang terdalam, agar satu saat, memori itu bisa diceritakan pada anak cucu kita.
Thanaka, T-Shirt, Banana Split, Old Bagan |
"Terus akhirnya Papa jadi beli atau enggak?"
"Ya, beli lah."
"Emang bagus Pa, khasiatnya?"
"Ya gak tahulah..."
"Papa gimana sih? Ibu yang jualannya cantik ya?"
"Engga..."
"Jadi apa dong yang bikin Papa beli?"
"Abis Papa dibilang ganteng, nak..."
*Pingsan
Credit : Thanaka