Beberapa waktu lalu, di televisi
gencar banget berita tentang eksekusi mati duo bali nine, belom lagi gempa di
Nepal tapi yang paling ngikutin banget berita tentang 60 tahun Konferensi Asia
Afrika yang akan digelar di Jakarta dan juga Bandung. Kenapa antusias banget? Karena
gue bisa menjadi saksi sejarah dengan cara ngikutin event tersebut dan yang terpenting adalah jalan-jalan...
Memang pada akhirnya gue cuman
ngikutin lewat media TV pas hari H-nya dan itu keren banget. Seminggu berlalu
dan euforia penduduk kota Bandung masih aja rame. Kami berdua excited ngikutin
napak tilas peserta KAA waktu libur hari buruh sedunia itu.
Dimulai dari Kota Kembang, pusat
perbelanjaan dan pedestrian yang hanya ditujukan bagi pengguna jalan kaki. Sekilas
tampak seperti Pasar Baru yang ada di Jakarta. Kalau tempatnya sudah jadi pasti
bakalan rame banget, pengunjung dan kaki lima tumplek jadi satu.
Alun-alun Bandung, tahu sendiri
tempat itu gak pernah sepi pengunjung. Taman kota menjadi sarana publik yang
menarik dan nyaman untuk disinggahi. Bandung berhias dan semuanya terlihat
cantik. Kalo gue jadi warga kota Bandung pastinya gue bangga dan juga seneng
karena banyak fasilitas publik yang terawat dan ditujukan buat masyarakat. Bukan
pas ada event ini aja tapi Bandung banyak kemajuan yang dapat dilihat dari
program kebersihannya, fasilitasnya
sampai penataan kotanya.
Lanjut ke arah Museum Sejarah Kota
Bandung, di tengah jalan ketemu tanaman gantung dan poster-poster KAA. Gak
mungkin gak foto kan? Klik…
Museumnya sendiri tutup karena
public holiday.
Ketemu Savoy Homann Bidakara Hotel,
tempat para delegasi KAA bermalam. Hotel tua ini berdiri tahun 1871 oleh Mr
Homann, seorang yang berwarga negara Jerman. Pada waktu itu hotel ini menjadi yang
terbesar di Asia Tenggara, oleh sebab itu hotel ini dijadikan saksi sejarah KAA
di tahun 1955 oleh Presiden Soekarno.
Di sepanjang jalan ini terdapat
batu-batu yang bertuliskan negara-negara peserta KAA.
Dari Savoy Homann kami nyebrang
jalan dan ketemu Tugu 0 Km Bandung. Adalah HW Daendels yang waktu itu menjabat
sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda yang menginginkan dibangunnya suatu
kota. Beliau menjejakkan tongkat ke tanah sambil berkata, “Pastikan
ketika aku kembali, aku telah melihat kota yang baru di sini.” Sejak saat itu
tempat ini dinamakan Bandung Km 0.
Sejarah selalu menarik ya.
Jalan kaki masih berlanjut. Persinggahan
selanjutnya adalah Gedung Pikiran Rakyat. Ada mesin cetak koran ukuran jumbo yang
dipamerkan di depan gedung tapi yang lebih menarik tentunya spot yang
disediakan untuk lomba foto dengan bingkai Koran Pikiran Rakyat. Klik…
Di belakang Gedung Merdeka
terdapat New Majestic, gedung yang dulunya berfungsi sebagai bioskop dengan
menggelar film-film bisu yang diiringi dengan orkestra. Lambat laun seiring
perkembangan jaman, gedung ini beralih fungsi menjadi gedung pertemuan dan pertunjukan serta karaoke
dangdut. Berganti nama menjadi Asia Africa Cultural Centre sampai akhrinya
berubah lagi menjadi New Majestic yang berfungsi sebagai café dan lounge.
Nah, di depan New majestic ini
banyak spot buat foto-foto. Klik…
Tuh kan, bukan bohong kalo gue bilang Bandung itu keren, ada
program Senin Gratis Damri, Selasa Tanpa Rokok, Rabu Sunda sampai Sabtu Kuliner. Jaman
gue dulu, mana ada beginian. Ngomong Inggris aja gak mesti, palingan Jumat doang
pake batik. Hebatlah sekarang mah...
Balik lagi ke Gedung Merdeka yang hari itu
gak dibuka untuk pengunjung. Tambah siang tambah banyak aja pengunjungnya. Dari
yang sekedar foto pake HP sampai pake kamera SLR ada. Perhelatannya udah
selesai tapi animo masyarakat masih belom juga surut.
Banyak poster-poster dengan
muka-muka penggagas KAA. Kata soul mate gue, model sampul majalah Hai tempo
dulu. Bener sodara-sodara. Nyeni, keren dan gue suka, artistik banget. Logo KAA-nya
juga bagus. Perlu diapresiasi nih untuk bagian design-nya. Melihat dari keterangan di setiap design-nya sepertinya mereka punya komunitas tersendiri.
Museum KAA juga lagi tutup. Dulu,
sebelom heboh KAA, pengen banget maen ke museum ini tapi gak pernah jadi. Yah,
paling engga nanti suatu waktu berkunjung, koleksi museum ini bakalan bertambah dengan
adanya event KAA ini dan akan semakin banyak yang bisa dilihat.
Landscape Alun-alun dari atas
jembatan penyebrangan menjadi view yang sayang untuk dilewatkan. Super banget. Di
satu sisi, kita bisa lihat Alun-alun dan Monumen KAA yang baru. Saat itu, monumen
dalam keadaan rusak makanya sekeliling bangunan tersebut dipasangi police line.
Sisi yang lain adalah Gedung
Merdeka dan Gedung Sejarah Kota Bandung.
Gedung Swarha dulunya adalah hotel tempat menginapnya para
wartawan yang meliput jalannya konferensi. Sekarang, gedung ini dibiarkan kosong dan hanya digunakan sebagai toko tekstil di lantai paling bawah.
Spot terakhir adalah Jalan Otista
- Pasar Baru. Dan yang pengen gue lihat adalah payung
warna-warni yang bergelantungan sepanjang jalan ini. Masih terlihat indah
walaupun sedikit berantakan diterpa hujan dan angin. Beberapa minggu lagi, semestinya harus dibersihin kalo gak mau tambah acak kadut.
Jalan-jalan kami sudah selesai tapi euforia KAA sepertinya masih berlanjut sampai beberapa minggu ke depan.
Jalan-jalan kami sudah selesai tapi euforia KAA sepertinya masih berlanjut sampai beberapa minggu ke depan.
Bandung memang seru untuk ditelusuri, baik sejarahnya maupun kulinernya. Bandung terus menggeliat menjadi ibu kota propinsi yang layak diperbincangkan. Carnival dan beberapa acara seni budaya digelar di pelosok Bandung memeriahkan acara KAA ini. Dan sudah sepantasnya bila warga Bandung menjaga kebersihan dan ketertiban kota sedangkan bagi pemerintah juga ditunggu program-program serta terobosan segar yang berguna bagi masyarakat dan bukan cuman pas ada event berskala dunia aja ya, Kang Emil...
Bandung Juara dan Bermartabat, euy...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar