Libur
Natal kemaren gue travelling ke kota Solo. Alesannya simple, karena belom
pernah mampir ke kota mantan pimpinan yang sekarang jadi orang nomor 1 di
Jakarta.
Keraton
Kasunanan menjadi salah satu objek yang wajib dikunjungi ketika berada di Solo.
Tempatnya berada di Alun-alun. Kebetulan di sana sedang diadakan acara Sekatenan, jadi
sebelum masuk area Keraton, PKL udah ada dimana-mana. Pendopo Keraton aja sampe
dipake buat jualan.
Pas
masuk pendopo bagian dalam, kami langsung ditanya tiket masuk sama ibu-ibu
super judes. Sepertinya dia petugas atau abdi dalem, entahlah. Kami diharuskan
kembali lagi ke depan, dan beli tiket dulu baru boleh masuk. Gue pikir gak usah sekasar itu kali ya. Toh,
kita juga bukannya gak niat beli, cuman gak nemu tempatnya. Gara-gara uang
sepuluh ribu aja sampe segitunya. Amit-amit.
Pas
balik lagi, dia langsung cek tiketnya asli apa enggak dan akhirnya mempersilahkan
kami masuk. Pendopo adalah bagian paling luar dari Keraton, dan gak banyak
objek yang bisa dilihat di situ, hanya ruangan yang cukup lapang. Kami
keluar dan ketemu jalan raya lalu masuk Keraton bagian dalam.
Yang
bikin kesel, di sana pun masih ada loket penjualan tiket. Jadi maksudnya tuh
orang ngabis-ngabisin energi judesin gue demi selembar tiket. -_-“
Jalan
sekitaran Keraton adalah jalan umum, jadi siapa pun bisa lalu lalang walaupun
tidak mampir ke Keraton. So, jangan harap bisa leluasa untuk berfoto di depan
Keraton yang berwarna biru itu. Salah-salah bisa ketabrak. Mungkin waktu yang
paling tepat adalah ketika hari masih sangat pagi sekali.
Yang paling menarik adalah ruangan Museum yang berisi perabotan yang masih dipakai untuk acara Keratonan ataupun koleksi Keraton yang sudah sangat tua dan tidak bisa dipakai lagi. Yah, udah bisa ditebak yang namanya Museum tuh kebanyakan creepy, udah gitu Keraton pula yang punya barang-barang mistis. Klop lah sudah. Walaupun saat itu Keraton sedang banyak pengunjung, teteup aja aura-aura negative masih sangat kental. Contohnya waktu masuk ruangan yang berisi seperti tandu untuk bawa sesajen, gue langsung keluar lagi. Rasanya gak nyaman aja.
Bisa
dibilang bangunan Museum Keraton ini mirip sekali dengan Museum Seni Rupa yang
ada di Kota Tua, Jakarta dengan taman terbuka ditengahnya.
Sebaiknya
kalau punya banyak waktu, mending pakai jasa guide biar sambil diterangin
sejarahnya. Gue suka sejarah, tapi kalo yang berbau mistik kayaknya males juga
sih dengernya. Sempet nguping pembicaraan guide yang lagi jelasin meriam yang punya
nama itu, kalau mau, bisa dielus secara searah lalu tangan bekas elusan dari
meriam tersebut ditaruh di kedua cuping telinga kita, tujuannya biar dapet
berkah. Gue dengernya sebagai pengetahuan aja tapi gak sampe dilakuin.
Ada
beberapa koleksi Museum yang gak boleh difoto, entah takut ditiru atau emang
ada sesuatunya. Mendingan diturutin aja daripada kenapa-kenapa kan?
Bisa dibilang Keraton Solo ini lebih menarik dibandingkan Keraton yang ada di Jogjakarta. Walaupun demikian sepertinya gak terawat, terlihat kusam dan kotor. Bahkan lantainya pun seperti jarang disapu.
Setelah
puas keliling museum, akhirnya kami melanjutkan tour ke bagian dalam Keraton.
Tempatnya asri karena banyak terdapat pohon sawo, katanya kalau daunnya berguguran
gak boleh diambil. Halamannya juga dipenuhi dengan pasir pantai Parang Kusumo
yang konon katanya berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Makanya sampai ada larangan membawa pulang pasir tersebut.
Menara
Keraton adalah bangunan yang sangat menarik perhatian. Tempat ini dipergunakan
Sunan untuk bertapa. Sunan Surakarta saat ini dijabat oleh Hangabehi yang
bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XIII. Jabatan ini sempat diklaim oleh
Pangeran Tedjowulan yang ternyata adalah adik dari Hangabehi, hanya saja berbeda
ibu kandung.
Setelah
pulang dari Solo, gue malah tertarik untuk mencari tahu penyebab konflik yang
terjadi diantara kedua kakak beradik itu dan siapa yang akhirnya memenangi
tahta paling prestis di seantero Surakarta. Intrik-intrik kerajaan selalu
menarik hati, lebih menarik dibandingkan barang-barang peninggalan sejarahnya
sendiri.
Setelah
keluar dari Keraton, ada satu lagi tempat yang sudah termasuk harga tiket yaitu
Museum kereta. Baru aja mau masuk, petugasnya udah jerit-jerit minta tiket.
Hadeuh…bener-bener gak ngerti, emangnya harus sekasar itu ya? Ok, mungkin
mereka makan dari hasil penjualan tiket, tapi seharusnya sopan santun harus
lebih didahulukan kali ya. Kalo ngomongnya sopan kayaknya kita pun segan.
Kesel
di hati masih belum selesai, masih ada mbak-mbak laen yang minta retribusi bawa
kamera sebesar IDR 3.500,- gue aja sama sekali gak niat mau foto, lha wong
keretanya aja cuman 4 doang. Posisi lensa kamera pun dalam kondisi tertutup
tapi dia yang heboh bener, sampe gue bales jerit aja “Engga…engga gak mau
foto.....!”
Yang
bikin ketawa, ada pengunjung laen yang bawa anak kecil dan ikut mendengarkan
percakapan kami dan bertanya, “Kalo foto pake kamera handphone bayar juga gak?”
dan jawabannya “Gratis” ahahhaha...
Gue
gak suka cara-cara yang kayak gitu. Indonesia kan terkenal karena keramahannya,
apalagi Jawa Tengah yang menjunjung tinggi norma-norma kesopanan yang luhur.
Jangan bikin orang jadi kapok…semoga
kedepannya lebih baik lagi ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar